Mungkin Karena Goblok

Hari ini, setelah sekian lama tak memegang pena tuk menguntai aksara, aku datang dengan membawa kisah yang begitu tak menyentuh mata sebenarnya. Jadi, kisah ini bukanlah kisahku, walaupun … Ah, mari dengarkan kisah ini saja.

Namanya Goblok, Pemuda desa yang bercita-cita pergi ke kota. Suatu ketika, saat ia tengah berkeliling desa, tak sengaja ia mendengarkan perbincangan orang-orang yang tak dikenalnya.

“Seseorang yang bisa sampai kesana akan mendapatkan pekerjaan di kota.”

Mendengar kata kota, Goblok menghentikan langkahnya.

“Siapa yang bisa mendaki gunung itu dengan baik, ia benar-benar akan ke kota.” Seseorang menunjuk gunung yang menjulang. Letaknya tak jauh dari desa.

“Siapa saja yang bisa sampai di sana? Berapapun jumlahnya?”

Seseorang yang berhadapan dengan orang yang bertanya mengangguk.

Alahkah senangnya hati Goblok, Ia mendapatkan peluang pergi ke kota. Sejak saat itu, Goblok Rajin berolahraga juga rajin bertanya ke sana kemari agar pandai mendaki. Ia bersungguh sungguh, benar-benar menghabiskan waktunya tuk berusaha.

“Bang, kalau cara supaya cepet sampai puncak gimana?” Sore itu goblok bertanya pada tetangganya dengan antusias.

“lu juga pengen ikut sayembara itu, Lok?” Jawabnya seolah tak percaya.

Goblok mengganggunk, Senyuman kecil menggantung di wajahnya.

Tetangga Goblok tersenyum. “Udahlah gak usah khawatir, gampang kok”

“Gampang, Bang?”

“Ya, kalau lu berusaha sendiri sih emang sulit. Apa lagi dengan badanmu yang segede gajah itu.”

Goblok mulai mengerti kemana perbincangan ini akan mengarah. Ia semakin resah, haruskah? Lalu, untuk apa ia mati-matian berusaha selama ini?


***
Hari H semakin di depan mata. Resah Goblok semakin menjadi, ditambah dengan omongan teman kanan kiri yang didengarnya setiap hari, Nyali Goblok makinlah ciut. Jadi, ia memutuskan akan melakukannya, Walau itu menyalahi keyakinannya, melawan naruninya.

Sejak keputusannya itu benar-benar terlaksana, Goblok tak bernah berusaha lagi. Ia hanya berdiam diri. Tak berolahraga maupun bertanya ke sana- ke mari lagi. Ia benar-benar hanya berdiam diri. Ia berdiam diri, Walau pikirannya tak tenang dan naruninya tak tentram.
Hari itu, Hari Senin pagi yang tak mendung maupun tak hujan, pagi-pagi sekali Goblok yang masih tak tentram dan banyak orang lainnya berkumpul di lembah tempat sayembara beberapa menit lagi akan berlangsung. Disamping mereka, beberapa kayu yang telah disusun sedemikian rupa layaknya tempat duduk yang aman dengan tali kuat yang diikat di setiap ujungnya siap mereka tempati. Sedang di sisi lain lembah, segelintir orang bersiap-siap akan menaklukkan gunung dengan kaki-kaki mereka yang telah dilatih beberapa minggu ini. Mereka itulah segelintir orang yang masih percaya dengan kemampuannya.

Gong berbunyi, dan gunung siap didaki. Sebuah halikopter yang diundang dengan biaya yang tak murah terbang menghampiri, lalu mengangkut beberapa kayu duduk yang telah disiapkan. Sejenak, semua berjalan lancar, hingga Goblok pun makin tenang. Namun tak lama dan tak pernah diduga, satu kayu duduk terlepas talinya dan tak bisa diangkut helicopter mahal mereka. Bersamaan dengan itu Beberapa harapan seakan runtun seketika.

Dialah Goblok, Salah seorang penumpang penempat kayu duduk yang terlepas talinya. Ia seakan tak percaya. Bukankah aku telah membongkar celenganku yang berharga hanya untuk ini? Kenapa harus aku? Batinnya kecewa.

Jadi, tak ada pilihan lain. Goblok harus menaklukkan gunung dengan kakinya sendiri. Lalu cerita selanjutnya, kau pasti tahu ….

***
Sampai saat ini Goblok masih di desa, nasibnya tak seberuntung teman-temannya yang telah sampai di kota. Jika kau Tanya apa ia kecewa? Ia akan tersenyum dan menjawab “Ini keputusanku sendiri kenapa harus kecewa?” Jawabnya tenang, padahal hatinya tak tentram.

Menangis? Menangis tak akan menyelesaikan masalah sekecil pun bukan? Jadi Goblok tak menangis, ia tak mampu menangisi ke-goblok-annya sendiri. Bukankah goblok memang takdirnya?

Ah … Jika saja. Ya … Jika saja.
Demak, 21 April 2015



No comments:

Powered by Blogger.