Hujan Sendu

Oleh : Nahayuka



sumber gambar: www.amipop.com

Aku sendiri. Diam menatap awan yang kian menghitam. Sunyi. Hanya itulah yang dapat kumaknai.
Terik tak terasa lagi. Dingin mulai menggeliyat ketika rintik hujan mulai bersemi. Sunyi makin tak berbunyi. Kini ia mati tertelan percikan air yang terus menyayat hati.
"Hujan kelima dibulan Desember." Jelas ketera kudengar suara serak itu.
Ah ... Dia lagi. Hadirnya sudah membuatku begitu tak tentram. Kini ia malah terang-terangan bicara padaku.
"Hai ... Kawan. Aku hadir lagi." Sapanya dengan senyuman yang selalu dapat membuatku jengkel.
Jelas ia terlihat senang. Ia selalu bahagia. Walau dirinya terus saja dikaitkan dengan duka.
"Aku tahu. Aku bisa melihatmu. Selalu bisa melihatmu." Aku menatapnya. Senyumku tak kuijinkan mengembang.
"Kau terlihat murung. Apa apa, kawan? Kenapa kau selalu terlihat murung?" Ia mendekat. Ah ... Kini isi dadaku semakin membuncah.
Aku menunduk. Menatapnya lagi dengan senyuman kecil yang sudah pasti terlihat mencibir 'Aku hanya murung saat kau hadir. Itulah sebabnya kau selalu memlihatku murung. Kau tahu?' batinku.
"Apa kau sakit kawan?" Tambahnya ketika aku tak kunjung bersuara.
"Kau selalu terlihat senang, kawan. Adakah hal yang menarik hatimu?" Ujarku basa-basi tak perdulikan pertanyaannya.

Ia makin gemuruh. "Ya, aku bahagia. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia jika aku dapat sesuka hatiku bermain di dunia yang penuh keindahan ini? Aku jarang bisa turun dan melihat warna-warni di bumi, kawan. Tidak seperti Mentari yang setiap pagi bisa menyapa dengan penuh binar."
"Kau membuatku semakin sedih, kawan." Dustaku.
"Kenapa? Ada apa?" Senyumnya mulai samar.
"Bisakah kau membantuku, kawan"
"Akan kuusahakan. Sebisa mungkin aku akan menolongmu." Senyumnya kembali memancar. Namun, aku yakin sebentar lagi senyuman itu pasti akan padam.
"Aku rindu sahabtku Mentari. Bisakah kau memanggilnya untukku, kawan?" Kini, senyumnya kembali menyamar. Manisnya hilang.
"Ya ... Tentu. Aku sudah bilang akan membantumu." Suaranya berat dengan senyuman yang sudah pasti dipaksakan.
"Terima kasih. Kau memang baik, kawan. Aku senang sekali. Mentari pasti mampu menghadirkan pelangi."
Ia mengangguk. Lalu pergi tanpa suara dan senyuman yang dipaksa. Tak lama, mentari hadir membawa pelangi. Hatiku bernafas lega. Bulir-bulir pembawa perih telah pergi.
"Maafkan aku hujan. Bukan kau yang kubenci. Tapi kenangan dalam rintikmu yang selalu membuatku pilu.
 Maaf."

Demak, 14 Desember 2014

No comments:

Powered by Blogger.