Janda Rasa Prawan

Diambil dari tahumedia.com
Aku kira, inilah cerpenku yang paling fenomenal, walau tidak lolos dalam Even menulis cerita singkat di salah satu group sastra. Cerpen lama.  Temanya, aku lupa. :D

Aku menulisnya di kelas. Saat jam istirahat dan teman-temanku tengah asyik mengobrol. Entah kerasukan apa, aku tiba-tiba saja duduk di meja paling depan membacakan cerpen itu untuk kawan-kawanku.  Aku membacanya dengan gaya seorang sastrawan professional membacakan puisi. Padahal ini cerpan :D

Bukannya terharu karna ceritanya sedih. Mereka malah tertawa cekikikan. Lalu berujar, “hehe . . . lah berarti janda rasa prawan iku?” kata seorang pria disitu. Lalu, disambut tawa oleh pendengar.

“Eh, iki arep di dimelokke lomba kok. Apik pogak?” tutur salah seorang kawan yang sendari tadi berada di sampingku.

“Apik-apik. Puisine Wez jos “Janda Rasa Prawan”. Engko pasti menang,” ucap beberapa yang lain. (padahal cerpen )

Selanjutnya saat mata pelajaran bahasa Indonesia …

“Eh, mau puisine Nahayuka apik kok. ‘Janda Rasa Prawan’. Do gak ngerti toh?”

“Opo? Janda rasa prawan? He’eh? Eh . . . yuk, wacakke maneh lah. Aku gung weroh.”

“Hyah, moh … ?” hehe …. Aku malu. “ Mau wez kok.”

“Hlah. Age toh, Yuk. Ligage.” Teman-teman memaksa. Juga akhirnya, Ibu Gurupun ikut memaksa.

Kali ini, aku membacanya di depan kelas. Untuk pertama kalinya.

Lalu, seorang teman membuat status di facebook.
“Haha . . . Janda Rasa Prawan. Puisine Nahayuka :D :D ”

Dan . . . beberapa hari setelah itupun tetangga kelas bertanya,
“eh, Yuk. Puisimu seng Janda Rasa Prawan iku piye toh. Sek fenomenal kok.”
“Hyah, ikuki dudu puisi. Iku cerpen. Judule marahi kontroversi ra?”
“he’eh. Aku weruhi leh!!!”

Hehe :D :D :D :D padahal judul sebenarnya bukan ‘Janda Rasa Prawan. Tapi …
                     Apa Ia Bukan Jodohku ???

Langit temaram seakan merenungi nasib yang aku alami. Gundukan tanah di hadapanku masih basah. Bunga segar nampak bertaburan, dengan ukiran nama orang yang paling aku sayang di batu nisan. Tuhan, kenapa seperti ini derita yang aku alami?

Masih terbayang senyum manisnya yang selalu mengembang di hadapanku. Masih berkumandang suara orang yang melamarku satu bulan lalu itu. Dan masih bergema, suara sah dari ijab kabulku pagi itu. Tuhan mengapa?? apa ia bukan jodohku?

Jika ia memang bukan jodohku, mengapa kau jadikan ia suamiku? Mengapa kau satukan kami dalam ikatan suami istri?

“Sudahlah, iklaskan. Ini sudah takdir tuhan. Tuhan pasti sudah mempersiapkan jalan hidup yang lebih baik.” Mantanku ini memandangku. Ia masih setia merenung di sampingku.

Aku berdiri. Meninggalkan setumpuk harapan kebahagiaan yang kini tlah terpendam.

Gaun pengantin putih yang masih melekat di tubuhku, kini temaram. Langitpun tak sanggup lagi membendung air matanya memandangi nasibku yang telah janda.

Demak, 2014
Nahayuka

No comments:

Powered by Blogger.