Sedikit Penghargaan Untuk Mereka yang Masih Mampu Bertahan


Diambil dari lovelybogor.com
"Cakue ... Cakue ..."

Tengah malam, dan ku dengar suara orang 'menawarkan' dagangan.
Ah .... siapa yang mau makan Cakue tengah malam begini?
Aku bahkan teramat malas untuk sekedar keluar dari kamar.

Ramadhan ...
Ketika ramadhan tiba, aku tidak tau bagaimana nasib pedagang jajanan keliling.
Apa mereka akan berhenti bekerja selama satu bulan?
Apa mereka akan mencari pekerjaan sampingan?
Atau ... apa mereka akan berjualan dari petang hingga fajar?

Ah ... aku dapat cerita dari kakak itu.
Katanya sewaktu dia mengantar temannya membeli makan malam, dia melihat bapak-bapak penjual kue cubit, datang dengan langkah pelan dan terlihat letih sambil mendorong gerobak jualannya dan berhenti di depan warung.

Si bapak masuk warung, menghitung lembaran uang rupiahnya lalu memilih nasi putih, bala-bala jagung, dan mie. Ku jadi ingat, aku selalu menghitung uang dulu sebelum memilih lauk ketika isi dompetku sedang menyedihkan.

Yang ingin kutanya, bagaimana nasib dagangan bapaknya saat Ramadhan seperti ini? Apakah sisa uangnya cukup untuk menyokong hidup keluarga dirumah?

Si bapak yang sudah bekerja bahkan hanya bisa membeli lauk ... Aku?

Aku juga jadi ingat nenek-nenek ramah yang selalu tersenyum menyapa saatku pulang atau berangkat kuliah. Nenek jualan kacang rebus. Seingatku, dagangannya selalu sepi pembeli.
Ramadhan begini, tak kulihat nenek menjajakan dagangannya lagi.

Atau, sering juga kulihat para lansia yang masih saja bekerja menjajakan dagangannya. Dan ya ... hampir semua tipe dagangan para lansia itu tidak menarik perhatianku.

Sering juga kulihat para pedangan terduduk lesu, dengan gerobak yang masih penuh dengan barang dagangan padahal hari akan segera berganti. Jika jualannya berupa makanan yang tidak tahan lama, bagaimana?

Aku juga sering berfiir, "kenapa mereka tidak ganti barang dagangan ya? Atau ... kenapa mereka tidak beralih profesi ya?"

Tapi untuk jajanan tradisonal walaupun tak banyak peminat, kalau bukan mereka yang melestarikan, siapa lagi? hmm... jadi serba salah.
Mungkin benar, tidak semua orang bisa berfikir kreatif apalgi jika usia sudah menua, tidak semua orang memiliki banyak pilihan, apalagi soal pekerjaan.
Melihat mereka masih teguh berjualan alih-alih membawa gitar dan meyodorkan tangan, Bukankah sudah patut dihargai? Dan ya ... tak susah sebenarnya untuk menghargai mereka, cukup dengan membeli barang dagangannya. Tak masalah jika tak suka, orang lain ada yang bisa menerimanya. Teman atau pengemis yang membutuhkan misalnya.

Aku jadi ingat, aku sendiri lebih mudah menyodorkan uang ke pengamen dan pengemis jalanan dari pada memutuskan membeli dagangan keliling para lansia itu, juga dagangan keliling yang membutuhkan untuk dibeli. Padahal sudah menjadi rahasia umum, pengamen dan pengemis 'gaji' bulanannya bahkan lebih besar dari pegawai kantoran.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR. Bukhari no. 2074)


Bukankah para penjual malang itu lebih patut 'dikasihani'?

Tuhan masih sayang padaku dengan menjadikanku golongan tengah dalam hal ini, aku belajar dengan melihat ke bawah, melihat mereka. Melihat orang yang bekerja banting tulang tapi penghasilannya tak sepadan. Aku juga bisa mendongak ke atas, melihat orang-orang yang lebih banyak 'diam' namun pnghasilannya melebihi memuaskan.

Aku juga masih di tengah, masih dalam perjalanan. Terima kasih untuk hal-hal yang menyadarkan juga menguatkan. Perjalananku masih panjang. 

8 Juni 2017
Nahayuka

"Sedikit Penghargaan Untuk Mereka yang Masih Mampu Bertahan", Bagian 13 dalam 30 hari menulis
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

No comments:

Powered by Blogger.